22/03/10

FOTO,ENCOD-DECOD & IDENTITAS KULTURAL (Babak I)

Sebuah foto sepertinya mulai hilang secara perlahan dalam kajian kita, entah ini hanya prasangka atau mungkin saja hanya sekedar negosiasi akan eksistensi semata. yang pasti, bagi saya sendiri foto adalah hal yang penting dalam membuat sebuah formula untuk menanamkan kode-kode pencitraan ketika membuat sebuah makna khusus.

Apa sebenarnya yang membuat pamor foto kalah rating dengan pengkodean melalui media televisi?itu mungkin bisa kita jawab bareng-bareng,untuk kalian yang mengaku seorang fotografer, pencinta foto atau juga yang suka difoto,hwe..

Tentunya dalam coretan iseng saya ini, sedikit ingin menyinggung sekaligus menjunjung lagi arti sebuah foto dalam pembentukan kode-kode kulturul dan menjadi bahan santapan masyarakat secara tidak sadar dalam mengaktualisasikan kediriannya, bahkan yang sering dilupakan menjadi riset perbendaharaan mereka untuk menentukan kostum, orang disekitar,life style dan semua yang berbau dunia ke-anyaran.

Ragam cara manusia menyajikan selembar foto menjadi sebuah media informasi,provokasi dan tentunya apresiasi terhadap diri sendiri akan kelebihan atau tanpa sadar kekurangan. Lihat saja gelaran pemaran foto tunggal, kolektif, buku sampai tag foto yang sekarang makin gencar menggempur otak masyarakat Indonesia is pacebuuk (kata teman saya,,hee)
saya teringat kata seorang jurnalis Eropa. "kita tak boleh buta terhadap fakta bahwa, disebuah dunia yang sepersekian waktunya ditembusi oleh berbagai produk media industri, yang itu telah muncul suatu arena besar untuk proses self-fashioning. Ini adalah panggung yang terbebas dari keterbatasan spasial dan temporal interaksi dari muka ke muka dan aksesibilitas foto dan gempuran globalnya, dan ini semakin tersedia bagi individu di seluruh dunia."

apa yang diramalkan ole jurnalis Eropa itu memang benar adanya, apalagi setelah dunia analog digeser tanpa ampun oleh era digitalisme, dengan bersembunyi dari isu global warming, mereka layaknya pahlawan penyelamat komunikasi tanpa batas. tidak ada batas umur, tidak ada tembok gender, semua diberikan ruang lebar untuk bisa mengaplikasikannya. segala fitur benar-benar menjadi senjata untuk membelah semesta hingga tanpa batas.

nah...impact-nya di kultur masyarakat tentu jauh lebih besar dari alatnya. layaknya partikel atom kecil yang sanggup luluh lantakkan benua negeri sakura. apapun tanggapannya itu, naturalnya alam adalah membagi dalam dua bagian makna. negatif positif alamiahnya muncul sendiri dalam pemaknaan ini, tentu kita mengambil poros yang terkadang ambigu,yang pasti menghindarkan anggapan yang parsial.

dalam hal ini, segala issu bisa muncul dengan cepat, obrolan westernisasi, ketimuran hingga yang paling lokal bahkan personal terbongkar dan tersiar dengan lantang dari media ini. gw modern, lu kampunga!, ane alim lu bezat, gw sedih, gw senang, kita hancur, kami suka dan seluruh makna kultural yang timbul. dan lebih fatalnya media ini menjadi simbol anak muda yang gaul, atau b ahkan melek teknologi modern, lebih dekatnya menjadi life style.



to be continue(maaf terhenti dulu sampai disini..untuk kalian yang baca bisa komentar dulu sedikit dari coretan saya ini atau mungkin menambahkannya..maklum nulisnya di ruang yang dibatasi akan waktu+tanggung jawab+dan semua yang mengharuskan saya tunduk akan rule itu...hweee.apologinya klise banget ya....
nanti akan saya sambung lagi..pasti!!)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar